Banyak orang bilang setiap peristiwa pasti ada sisi baik ataupun sisi buruknya. Seburuk-buruknya sebuah peristiwa, pasti dia mempunyai sisi baik yang bisa membuat seseorang berkembang lebih maju lagi. Terutama bagi mereka yang jeli melihat peluang atau dapat memanfaatkan peristiwa tersebut.
Demikian juga yang dialami Valentina Asjari Taroreh (40), pengusaha tas, sepatu, dan baju khusus untuk perempuan. “Mulanya, ya, karena krisis moneter (krismon) itu. Saya lihat banyak orang yang senang barang-barang berkualitas, tetapi tidak mampu membelinya karena krismon. Lalu saya pikir, karena saya tidak menyediakan barang-barang bagus dengan harga terjangkau,” cetus pemilik merek Bless yang mulai berbisnis tahun 1999 ini.
Kebutuhan akan barang-barang bagus ditangkap Valentina karena teman-temannya sering mengeluh tidak lagi bisa membeli tas-tas bermerek dari luar negeri karena devaluasi rupiah. Mereka ingin tetap tampil gaya, tetapi harga barang-barang sudah melayang jauh.
Ibu empat anak ini melihat peluang bisnis, juga karena dia merasa hampir tidak mempunyai kesibukan “setelah anak-anaknya besar, perhatian yang mereka butuhkan tak sebesar sewaktu masih kanak-kanak. Akibatnya, saya nyaris tidak punya kegiatan. Mungkin saya bisa jalan-jalan ke mal atau ke tempat lain, tetapi masak mau begitu terus. Jadi, harus ada kegiatan positif yang saya lakukan,” ujar ibu dari anak berusia 17, 11, 9 dan 8 tahun ini.
Setelah melihat adanya waktu luang, Valentina mulai membuat tas. Awalnya ia hanya membuat tas untuk dirinya sendiri. Lama kelamaan ada temannya yang tertarik dan ingin memiliki tas buatan Valentina. Pertama cuma satu orang, tetapi setelah itu teman yang minta dibuat tas semakin banyak. Di sinilah Valentina melihat peluang bisnis. Dikarenakan tas buatan Valentina bagus dan harganya terjangkau, teman-temannya merasa senang.
Setelah melihat adanya kebutuhan-kebutuhan tas, Valentina juga melihat adanya kebutuhan sepatu atau sandal untuk ukuran besar. Kebutuhan ini muncul dari dirinya sendiri. Kaki Valentina yang berukuran nomor 41 sangat sulit mencari sepatu atau sandal.
“Kalau mencari di mal atau di toko, ukuran sandal paling besar untuk perempuan hanya sampai 40. Kalaupun ada, modelnya belum tentu cocok. Lalu saya punya ide, kenapa tidak saya buat saja sandal atau sepatu berdasarkan ukuran masing-masing orang. Jadi, tidak membuat masalah dengan ukuran yang sama,” kata Valentina.
Ternyata keluhan Valentina tidak menjadi miliknya sediri. Banyak teman Valentina yang mempunyai keluhan sama. “Kaki setiap orang itu berbeda-beda. Ada orang yang kakinya ukuran 38, tetapi besar di bagian atas sehingga memerlukan tutup sepatu berukuran 39. Di toko, kalau ukuran solnya 38, pasti ukuran bagian atas juga 38. Hal ini yang sering membuat orang sulit menemukan sepatu yang cocok,” kata Valentina.
Ide membuat sepatu dengan ukuran yang personal, disertai tas senada dengan sepatu, ternyata mendapat sambutan baik. Setiap kali Valentina membuat sebuah model baru, pasti banyak yang memesan. “Tetapi, mereka memesan dengan bentuk yang berbeda. Jadi, dari satu model biasanya saya pecah menjadi beberapa model. Jadi, tidak ada pelanggan yang memiliki sepatu yang persis sama. Entah itu warna atau modelnya yang saya modifikasi, pasti ada perbedaannya. Biar pelanggan tidak merasa miliknya sama dengan orang lain,” kata Valentina, yang menyiapkan model-model hak sepatu dan gagang tutup tas di bengkelnya sehingga memudahkan pelanggan memilih.
Valentina yang memiliki dua butik, di Kemang dan di Mal Kelapa Gading 3, selalu mengerjakan pesanan pelanggan di bengkel sekaligus rumah tinggalnya di kawasan Condet, Jakarta Timur. Di bengkel itu terpajang puluhan sepatu dan tas contoh. Biasanya pelanggan datang dan memilih model serta warna yang diinginkan, lalu diukur sesuai keinginannya. “Makanya, saya tidak pernah memproduksi barang dalam jumlah banyak karena yang saya pamerkan hanya barang contoh. Kalau ada pesanan, baru dibuatkan yang lain,” ujar Valentina, yang mengobral barang contoh setiap akhir tahun.
Dalam merancang model sepatu atau tas, Valentina melakukannya kapan saja. Apa saja bisa menjadi inspirasi bagi Valentina. Contohnya, ketika menyantap ketupat pada hari Lebaran lalu, Valentina terinspirasi untuk membuat sepatu dan tas dengan model anyam seperti ketupat. Namun, berhubung sekarang mendekati Hari Natal, Valentina membuatnya dengan warna khas Natal, yakni merah dan hijau. “Model ini sebentar lagi akan saya pamerkan di butik. Saya juga menyiapkan sepatu lain dengan warna-warna berbeda. Tetapi, setiap modelnya akan dibuat satu pasang saja,” ujar Valentina.
Soal merancang model baru ini, Valentina mengatakan harus dilakukan terus-menerus karena model pun selalu berkembang. “Fashion itu seperti makanan, cepat sekali menjadi basi. Kalau tidak ada pembaharuan terus-menerus, bisa ditinggal pelanggan,” katanya menegaskan.
Pembaharuan ini diakui Valentina agak sulit, karena selain harus melihat selera pasar, juga mesti ada sesuatu hal yang baru. Produknya harus berbeda dengan produk sejenis, agar pelanggan selalu mau datang kembali. Oleh karena itu, Valentina membuat lukisan pada tas dan sepatunya. Model pertama lukisannya adalah anak laki-lakinya. Sekarang tidak hanya wajah anak yang menjadi model, tetapi juga binatang dan pemandangan. Lukisan tersebut lalu dipadukan dengan mote dan payet agar tampak hidup dan gemerlap.
“Ide lukisan ini adalah ide saya sendiri. Tetapi, yang membuatnya bukan saya, melainkan tukang. Saya sendiri tidak melukis,” kata Valentina yang dibantu dua pelukis.
Semula Valentina memiliki 50 karyawan. Namun, sekarang dia hanya memiliki 35 karyawan. “Setelah saya evaluasi, ternyata banyak inefisiensi di bengkel saya. Banyak tenaga, tetapi pekerjaan yang dihasilkan hanya sedikit. Mereka jadi saling mengandalkan kawannya. Akhirnya pekerjaan justru jadi terbengkalai. Setelah saya lakukan efisiensi tenaga kerja, sekarang bisa berjalan baik,” ujar Valentina.
Mengenai karyawan, Valentina mengaku sangat terbantu dengan keberadaan mereka. Namun, dia masih merasa kesulitan karena sering terjadi salah pengertian antara dia dan karyawan dalam menghasilkan produk. Akibatnya, Valentina harus melakukan kontrol terus-menerus.
“Sering terjadi, saya mintanya A, tetapi jadinya B. Kalau sudah begitu, barang itu tidak terpakai karena itu barang pesanan. Pemesannya mana mau menerima barang yang berbeda dengan pesanan. Terpaksa saya harus membuat yang baru lagi,” kata Valentina.
Sebenarnya Valentina ingin memiliki seorang pengawas yang bisa menjembatani keinginannya dengan karyawan. Maksudnya, agar Valentina bisa berkonsentrasi pada rancangan saja, tidak harus sampai pada pengawasan produknya. Namun, sampai sekarang dia belum menemukan orang yang cocok.
Sumber: Kompas Minggu 7 Desember 2003
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar